Jakarta, 13 Juni 2025 — Nilai tukar rupiah kembali harus menghadapi tekanan berat di tengah memanasnya tensi geopolitik global. Pada pembukaan perdagangan Jumat pagi, rupiah melemah 61 poin atau 0,38%, tertekan hingga ke level Rp16.304 per dolar AS.
Pelemahan ini tak lepas dari meningkatnya eskalasi konflik di Timur Tengah, usai Israel melancarkan serangan udara besar-besaran ke Iran, termasuk ke sejumlah target strategis yang disebut berhubungan dengan program nuklir negara tersebut. Beberapa tokoh penting, termasuk pejabat militer Iran, dilaporkan tewas dalam serangan itu.
Gejolak ini langsung memicu gelombang sentimen risk-off di pasar global. Investor global cenderung menarik diri dari aset berisiko, termasuk mata uang negara berkembang seperti rupiah, dan beralih ke aset safe haven seperti yen Jepang, franc Swiss, dan emas, yang melonjak ke US$3.453 per ons.
Kondisi ini diperparah oleh ketidakpastian global lainnya. Presiden AS Donald Trump menyatakan kemungkinan akan menaikkan tarif otomotif dalam waktu dekat, meski sehari sebelumnya menyatakan bahwa kesepakatan dagang dengan Tiongkok telah selesai. Pernyataan tersebut makin memperkeruh suasana dan membuat pasar semakin cemas.
Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, mengatakan bahwa kombinasi antara ketegangan geopolitik dan ancaman perang tarif menyebabkan pasar kehilangan kepercayaan jangka pendek, khususnya terhadap mata uang negara berkembang.
"Ketegangan Timur Tengah menciptakan kekhawatiran mendalam, memicu kepanikan global dan pelarian modal dari emerging markets," jelasnya.
Sementara itu, indeks dolar AS ikut menguat, naik 0,27 poin (0,28%) ke posisi 98,1. Saham-saham di Wall Street justru menguat seiring ekspektasi investor terhadap peningkatan belanja militer dan kebutuhan energi alternatif.
Di sisi lain, Kurs JISDOR Bank Indonesia juga menunjukkan pelemahan rupiah dari Rp16.237 menjadi Rp16.293 per dolar AS.
Dengan situasi yang masih dinamis dan berpotensi memburuk, pelaku pasar kini menanti respons lanjutan dari Iran, serta arah kebijakan moneter bank sentral global dalam menyikapi tekanan geopolitik ini.